Jumat, 29 Februari 2008 | 01:54 WIB
Oleh CM Rien Kuntari
Untuk pertama kalinya dalam sejarah terjadi kaitan antara kenaikan harga produk pangan dan harga pokok bahan bakar minyak bumi. Ditambah dengan perubahan iklim yang sangat ekstrem saat ini, jika tidak hati-hati dan jeli memanfaatkan celah, semua itu bisa bermuara pada berakhirnya era pangan murah.
Sulit menghilangkan bayangan wajah kuyu dan putus asa Mbok Marto, pedagang tempe di Pasar Prawirotaman, Yogyakarta, itu. Sepanjang sejarah hidupnya, baru sekali ini ia tak mampu berjualan tempe; bidang yang telah ia geluti sejak kecil. Harga kedelai yang melambung tinggi menjadi satu- satunya penyebab ketidakmampuan tersebut.
Kondisi menjadi sulit karena baru kali ini pula terjadi kenaikan yang nyaris bersamaan di hampir seluruh sektor pangan. Lebih parah lagi, hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Dimulai dari komoditas biji-bijian, seperti jagung, kedelai, gandum, dan beras. Tentu hal itu berimbas pula pada kenaikan produk ternak daging, susu, dan telur akibat kenaikan harga pakan.
Tanpa disadari, masalah pangan telah menjadi satu pintalan benang kusut. Untuk Indonesia, kenaikan pangan juga terjadi pada produk impor. Baik impor dalam jumlah besar seperti kedelai dan gandum maupun produk yang relatif seimbang antara produk dan konsumsi, seperti beras, bahkan komoditas yang berlebih hingga bisa diekspor seperti minyak sawit mentah (CPO). Dari sisi ini, faktor supply and demand jelas bukan penyebab kenaikan harga pangan.
Berakhir
Selain itu, baru sekarang ini pula terjadi adanya kaitan erat antara kenaikan harga pangan dan harga bahan bakar minyak bumi.
Mengemukanya soal biofuel (minyak nabati) atau bioetanol yang berbasis jagung menyebabkan harga jagung melonjak seiring dengan harga minyak. Juga membesarnya bursa komoditas dan pasar saham perusahaan pertanian. Akibatnya, spekulasi dan sentimen pasar bisa menjadi faktor penentu yang cukup berpengaruh. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi telah memungkinkan pergerakan harga di bursa komoditas bisa diikuti langsung dari telepon genggam.
Lebih repot lagi, faktor perubahan iklim pun semakin tak bisa diduga. Curah hujan yang tidak menentu serta perubahan iklim yang ekstrem hingga menimbulkan bencana akan memperberat tekanan pada sisi produksi. Dan, semua itu membawa pada satu akibat: berakhirnya era pangan murah!
Kondisi stok pangan 2007 diperhitungkan telah mencapai kurang dari 50 persen dari jumlah stok pangan dunia. Mau tidak mau, kondisi itu akan memicu terjadinya turbulensi harga yang bahkan akan menjadi risiko permanen. Dalam arti, harga pangan naik-turun dengan begitu cepat. Misalnya, harga sawit. Biasanya hanya naik satu hingga dua dollar atau 5-10 ringgit, belakangan dalam sehari harga komoditas ini bisa naik 10 dollar, kemudian turun lagi 10 dollar.
”UMK” dan ”M”
Dikhawatirkan, turbulensi akan berimbas langsung pada kelompok usaha mikro kecil-menengah (UMKM). Dari 70 persen perdagangan dan industri yang terkait dengan bahan baku pertanian, 40 persen di antaranya adalah industri makanan. Jika sebelumnya sektor UMKM dan pertanian tidak terimbas oleh turbulensi, itu semata-mata karena faktor turbulensi diawali di sektor keuangan. Kebetulan, tidak ada link di antara keduanya.
Tahun 2007 saja, misalnya, pertumbuhan kredit yang tercatat di Bank Indonesia (BI) meningkat 26,4 persen, jauh di atas harapan BI yang hanya sekitar 22 persen. Dengan kata lain, angka itu mencapai Rp 209 triliun. Persoalannya, posisi UMKM dan korporasi sangatlah timpang. UMKM hanya mencapai Rp 92 triliun, sedangkan korporasi Rp 117 triliun. Dengan kata lain, UMKM hanya tumbuh 22,5 persen, sementara korporasi 30,7 persen. Itu pun, jika ditelaah lebih jauh, 50,4 persen di antaranya adalah konsumen.
Saat ini kondisi justru terbalik. Turbulensi diawali oleh kedua sektor tersebut. ”Saya tidak tahu apakah ini bagus atau mungkin justru di situlah kelemahannya (karena tidak ada link tersebut). Seharusnya, kalau terjadi turbulensi dari salah satunya, kan, bisa diserap di tempat yang lain sehingga (turbulensi) ini tidak terjadi,” ujar salah satu panelis.
Dalam konteks ini, mendorong UU Keuangan Mikro agar segera diundangkan menjadi bagian dari solusi yang cukup penting. Selain itu, perlu pula dipertimbangkan kemungkinan memisahkan atau minimal membedakan pelayanan antara usaha kecil dan menengah. Dengan alasan, usaha menengah memiliki karakter yang berbeda dengan usaha kecil.
Disarankan, perkembangan sektor usaha menengah ini seharusnya dijadikan pusat perhatian ke depan. Dengan alasan, mereka lebih berpotensi untuk berkembang.
”Memberi perhatian pada usaha kecil-menengah sebenarnya bukan berarti mempertahankan mereka, tetapi bagaimana membuat mereka menjadi besar. Misalnya dari usaha kecil menjadi menengah, bukan kecil yang terus kecil,” lanjutnya.
Langkah itu harus diimbangi dengan upaya meningkatkan laju pertumbuhan pasokan, sambil berupaya terus diversifikasi dan melepaskan diri dari keterikatan pada satu komoditas. Misalnya, tak hanya menggantungkan sumber karbohidrat pada beras, tetapi mulai merambah ke komoditas lain seperti singkong, sukun, dan sumber karbohidrat lain.
Untuk menyiasati perubahan iklim yang ekstrem, Indonesia sudah harus melakukan investasi infrastruktur. Sebab, untuk mengembalikan Pulau Jawa pada posisi awal tahun 1990-an saja diperlukan dana Rp 70 triliun hingga Rp 80 triliun.
Kini, menyelaraskan produktivitas dengan kondisi riil tak bisa lagi ditunda. Misalnya, bertani tanpa menggunakan banyak air, mengingat sumber air yang semakin surut. Saat ini, untuk menanam satu kilogram padi diperlukan 1.000 liter air, sedangkan seekor sapi perlu 80 liter air bersih per hari. Dan, ternyata itu bukan hal yang mustahil. Kenyataannya, sekelompok petani di Daerah Istimewa Yogyakarta telah menanam padi di atas pasir. Nah!!
No comments:
Post a Comment