Jakarta, Kompas - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan, pemberlakuan kebijakan meniadakan minyak tanah bersubsidi per 1 Mei 2008 berpotensi memicu gejolak sosial. Oleh sebab itu, untuk mengantisipasinya, Pertamina harus mengaudit pembagian paket tabung dan kompor gas gratis bagi warga DKI yang ternyata berkualitas buruk.
”Apabila dalam satu setengah bulan ke depan bisa dilakukan, dibeberkan kepada publik, dan diperbaiki, mungkin kebijakan peniadaan minyak tanah bersubsidi bisa dilakukan. Jika tidak, potensi munculnya gejolak sosial amat besar,” kata Tulus Abadi dari YLKI, Senin (17/3).
Buruknya kualitas paket tabung dan kompor gas gratis juga diungkapkan oleh Lurah Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, Haris Sulistiobudi. Haris mengaku, dirinya sampai harus menyampaikan secara tertulis imbauan kepada warga agar membeli sendiri pipa gas dengan kualitas lebih baik, agar pemakaian kompor gas lebih aman.
Wahyudin (48), warga Kelurahan Sukabumi, Jakarta Barat, mengakui hal itu. Namun untuk pipa berkualitas, warga harus mengeluarkan uang Rp 50.000-Rp 75.000. ”Jelas itu memberatkan warga miskin. Kami pun memilih tidak menggunakan paket gratis Pertamina dan tetap memakai minyak tanah. Sebagian warga akhirnya memilih menjual paket gratis tersebut,” kata Wahyudin.
Sementara pemilik pangkalan Reza Reinaldi (26) menambahkan, tidak hanya pipa gas dan regulator yang bermasalah, banyak tabung yang berisi oplosan angin dan gas.
Di Johar Baru, kecamatan terpadat di DKI dengan jumlah penduduk resmi 107.701 orang, jika mencakup penduduk liarnya dapat mencapai 130.000 jiwa lebih yang menghuni 238 hektar, ribuan kepala keluarga masih menggunakan minyak tanah.
Demi menyukseskan program konversi energi dari minyak tanah menjadi gas, hingga akhir 2007, untuk Kelurahan Tanah Tinggi, Johar Baru saja, sudah dibagikan 10.700 paket tabung dan kompor gas.
Saat ini, sekitar 1,2 juta paket kompor dan tabung gas sudah disebarkan Pertamina di seluruh DKI. Namun, pantauan YLKI, sebagian Ketua RT di DKI justru menyarankan warganya menjual tabung dan kompor gas gratis kepada toko-toko penadah.
Tulus Abadi mengatakan, perilaku-perilaku seperti ini yang harus diwaspadai Pertamina dan pemerintah. Saat minyak tanah bersubsidi dicabut, disinyalir perdagangan kompor dan tabung gas akan menjadi komoditi para penadah untuk mencari untung sebesar-besarnya.
Kosong penghuni
Apabila subsidi minyak tanah jadi dihapuskan awal Mei mendatang, bisa dipastikan kawasan Kebon Pala, Makasar, Jakarta Timur akan kosong dari penghuninya, karena sebagian besar terdiri pedagang kecil yang berasal dari daerah lain.
”Kalau minyak tanah sulit didapat, dan tarif listrik naik, mereka tidak mungkin mampu berjualan,” kata Panangaran Ritonga, Lurah Kebon Pala, Senin. Ritonga mengatakan, jumlah pendatang di kawasan itu bisa mencapai separuh dari jumlah warga yang mencapai 37.000 jiwa.
Lebih efisien
Di Istana Wakil Presiden, di Jakarta, Wakil Presiden M Jusuf Kalla mengemukakan, setelah seluruh rakyat pengguna minyak tanah di Jakarta mendapatkan tabung gas dan kompornya pada Mei 2008, minyak tanah tidak lagi dibutuhkan untuk memasak di Jakarta. Minyak tanah akan dijual tanpa subsidi dan rakyat diminta menggunakan gas yang lebih efisien.
”Pada bulan Mei, seluruh rumah tangga yang selama ini memakai minyak tanah sudah mendapatkan kompor gas dan gas. Mereka semua sudah menikmati dan berpendapat bahwa gas lebih efisien daripada minyak tanah,” ujar Wapres.
Wapres menampik adanya protes meluas dari agen dan pedagang minyak tanah keliling karena kebijakan konversi ini. Menurutnya, agen dan pedagang minyak tanah keliling saat ini bisa beralih menjadi penjual gas sehingga tidak ada yang diprotes.
Direktur Utama PT Pertamina Ari H Soemarno seusai meresmikan stasiun pengisian liquid gas vehicle (LGV), di SPBU Jalan Pramuka, Jakarta, Senin (17/3), mengatakan setelah Jakarta dinyatakan bebas minyak tanah subsidi, maka masyarakat yang memasukkan minyak tanah bersubsidi dari luar Jakarta akan dikenai sanksi hukum. ”Itu sudah pelanggaran. Pertamina sudah meneken nota kesepahaman dengan Kepolisian RI, termasuk dengan Polda DKI Jakarta dan Polda Jabar untuk mencegah terjadinya rembesan dari wilayah pinggiran,” papar Ari.
Pertamina memperkirakan konversi di wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, baru akan selesai pada Agustus 2008. Dalam kurun waktu itu rembesan minyak tanah dari wilayah luar atau sebaliknya masyarakat yang mencari minyak tanah ke luar wilayah Jakarta, masih akan terjadi. Direktur Niaga dan Pemasaran PT Pertamina Achmad Faisal mengakui pelaksanaan konversi di wilayah Tangerang dan Bogor terkendala ketersediaan tabung. ”Produksi tabung dari dalam negeri belum memenuhi komitmen, sementara impor dari luar juga baru sedikit. Perkiraan semula, kami membutuhkan 30 juta tabung tahun ini,” kata Faisal.
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menyatakan yakin tidak akan terjadi gejolak di masyarakat meskipun minyak tanah ditarik. ”Rakyat sih sebenarnya tidak banyak berkomentar, asal barangnya tersedia. Tapi kalau ada yang mengompori memang bisa,” kata Fauzi.
Menurut Fauzi, ia telah meminta ke ke Pertamina agar penarikan pasokan minyak tanah dikurangi sesuai dengan pendistribusian elpiji. Ia meminta masyarakat untuk membiasakan diri dengan pola hidup menggunakan elpiji. ”Pola hidup harus lebih teratur. Kalau pakai minyak tanah masih bisa beli cuma seperempat liter, sedangkan elpji tidak bisa,” kata Fauzi.
Dirjen Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Luluk Sumiarso mengatakan pemerintah akan berhati-hati dalam program pembebasan minyak tanah bersubsidi. ”Jangan gegabah, jangan sampai kita nyatakan bebas minyak tanah subsidi tetapi kemudian terjadi kelangkaan,” ujar Luluk.
Setelah Jakarta, daerah lain yang sudah selesai konversinya, seperti Tangerang, Depok, Bekasi, dan Bogor, juga akan bebas dari minyak tanah subsidi. Menyusul kemudian daerah-daerah lain.
Ari Soemarno mengatakan Pertamina menjamin ketersediaan minyak tanah dengan harga keekonomian. Pertamin menjual minyak tanah nonsubsidi dengan harga Rp 7.800 per liter. Harga akan disesuaikan menyesuaikan dengan fluktuasi harga pasar.
Sementara, warga yang belum memperoleh paket konversi elpiji mengaku khawatir. Suhaimi, pemilik warung di Kelurahan Gelora, Jakarta Pusat mengatakan takut tidak kebagian sehingga harus membeli minyak tanah dengan harga keekonomian. ”Harganya kan dua kali lipat. Kami sudah berkali-kali menanyakan ke Ketua RW, tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan,” katanya. (DOT)
No comments:
Post a Comment