Saturday, March 15, 2008

Bukan Lagi Saatnya Berleha-leha


Jumat, 14 Maret 2008 | 02:11 WIB

Oleh Sri Hartati Samhadi

Kendati ada upaya dari Wakil Presiden M Jusuf Kalla untuk meyakinkan kalangan dunia usaha agar tetap optimistis, ada satu pesan kuat yang ingin disampaikan oleh Menko Perekonomian Boediono, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda Goeltom, dan para ekonom pada CEO Forum Kompas100 pekan lalu. Yakni, bahwa sekarang ini bukan lagi saatnya bagi bangsa ini untuk berleha-leha.

Realitas ekonomi global yang penuh ketidakpastian dan kondisi di dalam negeri, menurut mereka membuat comfort zone sudah lewat bagi perekonomian Indonesia saat ini. Adalah suatu kemewahan untuk merasa secure atau aman pada kondisi sekarang ini. Yang ada, kita justru harus bersiap untuk kemungkinan lebih buruk atau terburuk.

Ada beberapa alasan yang disampaikan oleh para menteri, Deputi Senior Gubernur BI, dan para ekonom. Pertama, kondisi eksternal yang jauh lebih buruk dari yang diperkirakan semula. Sekarang ini, drama subprime mortgage (krisis kredit macet perumahan) di AS yang menyeret perekonomian terbesar dunia ini masih terus berlanjut tanpa ada tanda-tanda bakal berakhir. Kabar terakhir, krisis bahkan sudah merembet ke industri asuransi, sistem perbankan, dan keuangan secara keseluruhan.

Kerugian total bank-bank sudah mencapai 160 miliar dollar AS dan diperkirakan masih bisa meningkat hingga 300 miliar dollar AS. Sejumlah analis bahkan tidak menampik kemungkinan kerugian akan mencapai di atas 1 triliun dollar AS.

Data makro dan mikro-ekonomi AS, mulai dari angka pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, pertumbuhan produksi manufaktur dan sektor jasa, hingga inflasi, seluruhnya masih terus menunjukkan ke arah pemburukan.

Pada kuartal IV-2007, ekonomi AS hanya tumbuh 0,6 persen dari kuartal sebelumnya 4,9 persen. Angka pengangguran juga mencapai 4,9 persen. Ini tinggi untuk ukuran AS. Tahun lalu, angka pemutusan hubungan kerja (lay off) mencapai hampir 1,6 juta orang dan Februari ini 600.000 orang lagi. Inflasi 12 bulan terakhir sudah 4,3 persen, dari tahun lalu 2,1 persen.

Sektor konstruksi mencatat penurunan terbesar dalam 14 tahun terakhir pada dua bulan pertama 2008. Sektor manufaktur dan sektor jasa sama jebloknya.

Kedua sektor ini mengalami kontraksi pertumbuhan, tercermin dari indeks kegiatan manufaktur nasional dan indeks Institute of Supply Management (ISM) untuk jasa yang di bawah angka 50. Padahal, sektor jasa selama ini menyumbang dua pertiga dari Produk Domestik Bruto (PDB) AS.

Semua ini kian mempertegas indikasi ke arah resesi (ditandai oleh pertumbuhan negatif dua kuartal berturut-turut).

Kekhawatiran terbesar adalah perekonomian AS akan mengalami stagflasi (stagnasi ekonomi dibarengi inflasi tinggi) akibat ketatnya likuiditas (karena lembaga keuangan enggan menyalurkan dana) dan lonjakan harga minyak mentah dan harga komoditas dunia. Sebab, jika ini yang terjadi, pemotongan suku bunga oleh Fed dan stimulus fiskal yang ditempuh pemerintah pun mungkin tidak akan mempan.

The Fed sendiri sudah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi AS sebesar 0,5 persen untuk tahun 2008, menjadi 1,3-2,0 persen. Dana Moneter Internasional (IMF) juga merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi AS, dari 2,2 persen tahun lalu menjadi 1,5 persen (World Economic Outlook Update Januari 2008). Bahkan, konsensus ekonom terakhir memprediksikan sampai 1 persen. Revisi pertumbuhan di AS juga diikuti beberapa negara maju lain.

Tiga saluran

Bagi Indonesia, tentu ini merupakan kabar buruk. Melambatnya ekonomi AS yang diikuti dengan negara-negara maju lain, menurut Deputi Senior Gubernur BI Miranda Goeltom, akan berdampak pada perekonomian Indonesia lewat beberapa saluran.

Pertama, perdagangan (trade channel). Kendati ekspor Asia (termasuk Indonesia) relatif sudah terdiversifikasi dan tak lagi setergantung pada negara maju G-3 (AS, zona euro, dan Jepang) seperti sebelumnya, porsi terbesar ekspor Asia harus diakui masih tertuju pada AS (sekitar 63 persen jika produk final dimasukkan). Ini yang menyebabkan decoupling tidak sepenuhnya terjadi.

Posisi Indonesia masih lumayan karena kebetulan komoditas ekspor Indonesia ke negara maju cenderung bersifat primer dan low end industry sehingga relatif kurang sensitif terhadap perlambatan ekonomi negara maju.

Sebaliknya, peluang untuk memacu ekspor ke China dan India, dinilai Deputi Senior Gubernur BI, masih besar, sejalan dengan masih kuatnya permintaan domestik di China. Pesatnya pembangunan infrastruktur di China dan India juga berpotensi meningkatkan ekspor Indonesia, terutama komoditas tambang.

Yang menjadi persoalan, China sendiri ternyata kini juga mulai mengalami demam. Dengan adanya gejala pemanasan ekonomi (overheating)—ditandai dengan inflasi mencapai 8,7 persen pada Februari 2008 (yoy) yang dipicu lonjakan harga pangan hingga 23,3 persen—ada kemungkinan negara itu akan dipaksa untuk mengerem pertumbuhan dengan menaikkan suku bunga.

Negara ini sudah merevisi proyeksi pertumbuhan menjadi 10,4 persen, bahkan 9,6-9,7 persen setelah tahun lalu tumbuh 11,4 persen. Penurunan pertumbuhan ekonomi China akan menurunkan pula permintaan negara itu akan produk impor dari Indonesia.

Dampak menurunnya ekonomi AS ke perekonomian Indonesia juga bisa dialirkan melalui saluran arus modal (capital flows channel). Secara finansial, integrasi ke sistem finansial global membuat Indonesia seperti juga negara berkembang lain justru semakin rentan terhadap dampak setiap gejolak global.

Melemahnya perekonomian global akan mengakibatkan menurunnya minat mengambil risiko (risk appetite) dari investor global terhadap aset-aset negara berkembang, termasuk Indonesia.

Hal ini akan berdampak pada menurunnya arus modal masuk dan melemahnya rupiah. Pada Indonesia, gejala ini antara lain sudah terlihat dari menurunnya minat investor terhadap aset rupiah, tercermin dari pelepasan Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN), dan saham pada saat terjadi gejolak di pasar uang global.

Lonjakan harga minyak dan komoditas pangan juga memunculkan tekanan inflasi, terutama yang sifatnya imported inflation akibat lonjakan harga komoditas, terutama harga pangan yang mengalami gejolak harga (volatile foods). Sebagai akibatnya, suku bunga juga terpengaruh.

Prospek suku bunga global tahun 2008 relatif bervariasi (mixed). Negara-negara maju yang mengalami perlambatan ekonomi dan mengalami kekurangan likuiditas (liquidity crunch) akan melonggarkan kebijakan moneter.

Sebaliknya, bank-bank sentral di negara sedang berkembang yang mengalami lonjakan inflasi dan kelebihan likuiditas cenderung menempuh kebijakan moneter ketat guna meredam inflasi.

Koordinasi fiskal-moneter

Masyarakat (terutama kalangan bawah) sudah mulai merasakan dampak dari gejolak harga dan kondisi ekonomi global sekarang ini.

Selain daya beli yang merosot tajam—baik karena penurunan pendapatan secara nominal maupun akibat melonjaknya harga pangan dan barang-barang kebutuhan pokok lain—konsumen dan berbagai sektor dalam perekonomian juga dipaksa mengurangi konsumsi, termasuk BBM dan listrik. Memang tidak enak, tetapi harus dilakukan.

Mereka juga mulai merasakan memburuknya kualitas kehidupan mereka, seperti akses ke pemenuhan pangan, pendidikan, kesehatan, dan hancurnya infrastruktur dasar. Salah satu contoh jelas adalah mulai merebaknya kembali kasus busung lapar.

Bagi Indonesia sendiri, dikepung berbagai tekanan dalam dan luar negeri sekaligus tentu membuat comfort zone jelas bukan lagi milik kita. Dari sisi fiskal, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersandera untuk subsidi BBM dan stabilisasi pangan yang membengkak akibat lonjakan harga minyak mentah dan komoditas pangan.

Dengan harga minyak sekarang saja, subsidi untuk BBM diperkirakan sudah membengkak menjadi sekitar Rp 150 triliun.

Baru dua bulan pemerintah sudah dipaksa melakukan revisi, dengan pertumbuhan ekonomi 2008 direvisi dari 6,5-7,0 persen menjadi 6,2-6,5 persen. Untuk 2009, proyeksi pertumbuhan juga diturunkan dari 6,7-7,2 persen menjadi 6,4-6,9 persen. Defisit kemungkinan juga harus dilepas menjadi sekitar 2 persen.

Pemerintah sendiri dipaksa berhemat, dengan memangkas berbagai anggaran belanja departemen. Ini berdampak pada menurunnya belanja investasi dan stimulus fiskal pemerintah. Pemangkasan anggaran ini bisa menjadi pukulan balik karena berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, bahkan akhirnya juga pada konsumsi masyarakat dan dunia usaha.

Tetapi sekali lagi, pertumbuhan 6,2 persen hasil revisi ini pun masih sangat diliputi ketidakpastian. Artinya, masih ada kemungkinan untuk direvisi ke bawah lagi jika kondisi global ternyata jauh lebih buruk ke depan.

Di sini, menurut Menko Perekonomian dan Deputi Senior Gubernur BI, pentingnya konsistensi kebijakan makroekonomi dan koordinasi fiskal-moneter dalam rangka menjaga stabilitas makroekonomi, baik untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi maupun meningkatkan kemampuan perekonomian meredam dampak negatif gejolak eksternal.

Dari sisi kebijakan moneter, tantangan terbesar BI adalah menekan inflasi, terutama karena ini berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.

Salah satu langkah strategis yang ditempuh BI, menurut Miranda Goeltom, adalah penguatan operasional kebijakan moneter dengan mendukung efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga, yaitu dengan menggunakan suku bunga pasar uang antarbank (overnight) sebagai basis dalam kebijakan suku bunga.

Ini dibarengi dengan optimalisasi pelaksanaan intervensi valas, akselerasi program untuk memperdalam dan memperluas basis instrumen pasar keuangan. Dari sisi kebijakan perbankan, perbankan akan didorong lebih berperan dalam pembangunan ekonomi, antara lain dengan melakukan pembinaan kepada para pelaku usaha yang produktif di wilayah atau sektor tertentu. Bank-bank BUMN juga didorong lebih aktif dalam penyaluran kredit ke sektor produktif, termasuk sektor infrastruktur.

Benahi rumah sendiri

Harus diakui, dari 11 indikator makroekonomi, pemerintahan sekarang ini, menurut ekonom Faisal Basri, berhasil membuat kemajuan, empat di antaranya yakni pertumbuhan ekonomi, defisit APBN, cadangan devisa, dan utang pemerintah. Namun sebaliknya, untuk beberapa indikator lain, seperti inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga, serta pengangguran dan kemiskinan, kita babak belur.

Ini menunjukkan ada yang salah karena kemajuan yang sudah dicapai belum banyak bermanfaat bagi sebagian besar masyarakat, terutama yang di bawah. Artinya, pekerjaan rumah kita masih banyak. Dan ini tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah.

Ke depan, situasi global masih sangat tidak pasti dan sulit diprediksi. Yang bisa dilakukan Indonesia sekarang adalah membenahi rumah sendiri. Seperti dikatakan oleh Menko Perekonomian Boediono, akhirnya kuncinya adalah kita sendiri. Gejolak global tidak harus jadi kendala jika diantisipasi dan direspons dengan baik.

”Kalau rumah kita kuat, gejolak global tidak harus menjadi masalah,” ujarnya. Di sinilah kemampuan tiga komponen penting bangsa (pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat madani) untuk saling mendukung, mengambil prakarsa di depan, dan berkontribusi guna membawa bangsa/perekonomian keluar dari meniti buih dengan selamat, kembali diuji.

No comments: