Saturday, March 15, 2008

Mereka Bertahan di Tengah Pusaran Pasar Global


Jumat, 29 Februari 2008 | 01:57 WIB

Dunia memang kian tak ramah. Pasar global yang bercirikan sistem kapitalisnya hanya berpihak pada yang kuat. Mereka yang lemah dan lamban hanya akan jadi pelengkap dari sebuah kenduri dalam rumah besar bernama globalisasi.

Kenyataan inilah yang tengah dihadapi oleh negara-negara Dunia Ketiga, tak terkecuali Indonesia. Bahkan, hingga beberapa tahun ke depan diprediksi bahwa kondisi di mana dunia tidak lagi bersahabat dengan negara-negara yang memiliki ketergantungan pada pasar global, seperti Indonesia, masih akan terus berlanjut.

Lebih-lebih bagi kalangan usaha ekonomi kecil dan menengah. Pukulan telak bahkan sudah harus dirasakan oleh masyarakat miskin begitu harga berbagai komoditas—terutama yang terkait dengan produk pangan—di level perdagangan dunia bergejolak.

Melambungnya harga kedelai di pasar dunia pada awal 2008, misalnya, secara nyata telah menguncang sendi-sendi perekonomian di tingkat rumah tangga masyarakat Indonesia. Maklum, dua per tiga dari kebutuhan kedelai yang merupakan bahan baku utama tahu-tempe di dalam negeri masih bergantung pada pasokan dari luar. Akibatnya, pasar-pasar kehilangan tempe sebagai sumber gizi yang murah-meriah bagi rakyat kecil. Wong cilik pun langsung tekena imbasnya.

Tak cuma itu yang membuat rumah tangga masyarakat menengah ke bawah kelimpungan. Pada saat hampir bersamaan, harga sejumlah komoditas pangan lainnya juga ikut naik. Kenaikan harga jagung, gandum, dan beras bahkan telah ikut memicu kenaikan harga pakan ternak, sehingga berdampak pada kenaikan harga produk-produk ternak: daging, susu dan telur.

Bagai kartu domino, meski dalam pengertian sebaliknya, begitu satu komoditas pangan bergerak naik akan diikuti kenaikan sejumlah produk lain yang bersifat saling terkait. Belum lagi pola kenaikan harga tersebut akhir- akhir ini cenderung bergolak di luar prediksi pasar itu sendiri.

Pasar pangan dunia kini mengalami apa yang disebut oleh para ekonom sebagai turbulensi harga. Selain kenaikan harga produk pangan tersebut sangat tinggi, 80 hingga 100 persen, proses naik- turunnya harga itu pun berlangsung dalam waktu singkat. Pada beberapa kasus, turbulensi harga tersebut tidak semata karena faktor penawaran dan permintaan di dalam negeri, tetapi ikut dipengaruhi faktor-faktor lain di luar mekanisme pasar itu sendiri.

"Kondisi seperti sekarang belum pernah terjadi dalam sejarah. Kalau harga sawit, misalnya, naik 1-2 dollar (AS) atau 5-10 ringgit (Malaysia) itu sudah berita biasa. Tapi sekarang, dalam satu hari bisa naik 10 dollar lalu turun lagi 10 dollar. Kondisi ini yang membikin kita lebih frustrasi daripada tingkat harga itu sendiri," kata seorang panelis dalam diskusi tentang "Hancurnya Ekonomi Rakyat" di Jakarta, pekan lalu.

Persoalan di seputar masalah pangan ini semakin pelik ketika dunia mulai diguncang krisis bahan bakar minyak bumi. Tak terbayangkan sebelumnya kenaikan harga BBM berdampak langsung pada kenaikan harga produk pangan dunia. Namun, fenomena itulah yang terjadi saat ini.

Ditandai krisis pangan dunia sejak triwulan terakhir 2006, menyusul turunnya persediaan biji-bijian dunia di titik terendah pada Oktober 2006 serta kegagalan panen tanaman biji-bijian di berbagai belahan dunia; termasuk gagal panen gandum di Australia hingga 35 persen dari produksi normal 24 juta ton, harga produk pangan terus merambat naik. Pada saat hampir bersamaan, sejumlah negara—khususnya Amerika Serikat—mulai mengembangkan produk minyak nabati yang diolah dari bahan pangan.

Tak cuma membangun industri minyak nabati (biofuel) berbasis bioetanol dari jagung dalam skala besar di sekitar ladang-ladang jagung di Negara Bagian Iowa, Pemerintah AS bahkan menyalurkan subsidi hingga puluhan miliar dollar untuk menyukseskan program diversifikasi energi mereka. Akibatnya, ekspor jagung AS yang dibutuhkan oleh lebih dari 100 negara Dunia Ketiga turun tajam.

Kondisi ini telah mendorong harga jagung di pasar internasional naik setiap sen dollar kenaikan harga minyak bumi. Tak cuma itu. Kenaikan harga jagung dunia ternyata juga memicu sebagian petani kedelai dan gandum di AS beralih ke tanaman jagung. Perkembangan berikutnya tentu bisa ditebak. Produksi kedelai dan gandum dunia merosot, sementara permintaan malah bertambah. Hukum pasar pun berlaku: harga kedelai dan gandum juga ikut meroket.

Ketika harga produk-produk pangan meningkat, harga produk makanan pun dengan sendirinya akan melonjak. Dengan kata lain, begitu harga makanan yang berbasis produk pangan naik, maka yang menanggung beban paling banyak akibat kenaikan tersebut adalah rakyat miskin. Termasuk di dalamnya kalangan usaha sektor nonformal dan informal

Perlu keberpihakan

Kondisi ini sekaligus memperlihatkan kepada kita betapa rentan basis ekonomi rakyat yang bertumpu pada sektor-sektor primer bila dihadapkan pada mekanisme pasar global. Dalam kondisi semacam itu pun, pembelaan pemerintah lewat berbagai paket kebijakannya masih bersifat 'tambal sulam' tanpa menyentuh persoalan dasar yang dihadapi oleh sebagian besar pelaku ekonomi skala mikro.

Tengoklah pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian dan industri manufaktur. Kedua sektor ini merupakan basis ekonomi rakyat. Pasar domestik menjadi andalan untuk menyerap produk-produk sektor ini. Ironisnya, selama 10 tahun terakhir kedua sektor ini praktis hanya jalan di tempat. Padahal negara-negara lain mengalami lonjakan yang sangat berarti.

Sebelum krisis moneter pada tahun 1997, Indonesia adalah negara dengan salah satu pertumbuhan ekonomi dari sektor industri manufaktur tertinggi di Asia. Tetapi, kini, semua itu tinggal catatan masa lalu. Sektor manufaktur, juga pertanian, terus tertekan; jauh di bawah potensi yang sesungguhnya masih bisa dikembangkan.

Dalam beberapa tahun terakhir hampir tak ada kebijakan yang berarti untuk mengangkat tingkat daya beli dan kesejahteraan mayoritas penduduk yang terkait hidup mereka dari kedua sektor ini. Kecenderungan yang muncul justru pembukaan keran kebijakan di sektor konsumtif.

Perhatian pemerintah bahkan lebih banyak pada pemberian insentif di sektor jasa, khususnya di bidang keuangan. Adapun mereka yang bergerak di level bawah nyaris tak tersentuh, kecuali berbagai skema bantuan tunai untuk rakyat miskin yang dananya diambilkan dari pencabutan subsidi BBM. Itu pun jauh dari pola pemberdayaan masyarakat.

Dalam diskusi panel ahli eknomi Kompas kali ini terlihat betapa kucuran kredit bagi usaha ekonomi kecil dan menengah yang bergerak di sektor informal dan nonformal sama sekali belum dijamah oleh lembaga perbankan. Padahal, lebih 60 persen dari total pekerja yang ada saat ini hidup dan menghidupi sektor ini. Kebanyakan di antara mereka hanya mendapat bantuan melalui kredit simpan pinjam dari unit-unit koperasi sekala kecil.

Berbeda ketika 'krisis lokal' menguncang negeri ini pada 1997, di mana sektor usaha kecil dan menengah dengan lincah bisa bertahan, pada 'krisis global' seperti sekarang kekuatan mereka oleng. Kenaikan harga bahan-bahan baku—baik bahan baku langsung maupun tak langsung seperti listrik dan transportasi, juga pungutan-pungutan liar—memaksa mereka tiarap.

Sudah ratusan jenis usaha rakyat yang gulung tikar. Sebagian yang bertahan memperkecil ruang gerak usahanya. Taruhlah seperti kasus pengusaha industri logam dari Ceper, Jawa Tengah, yang semula menerima pesanan kini banyak yang beralih menjadi semacam makelar. Sebagian lagi berproduksi seadanya. Kasus serupa juga terjadi di sektor usaha makanan. Sementara pada saat bersamaan, daya beli masyarakat golongan menengah-bawah pun jatuh ke titik nadir.

Bagaimanapun, persoalan ini ada di hadapan kita. Berbagai solusi ditawarkan. Mulai dari mendorong lahirnya UU Keuangan Mikro sebagai payung hukum bagi perbankan masuk ke usaha skala kecil, pembenahan di bidang fiskal, peraturan, hingga perbaikan di jalur distribusi.

Diyakini, persoalan seputar krisis produk pangan dan industri manufaktur tidak bisa diselesaikan melalui kebijakan perdagangan dengan buka-tutup keran impor seperti yang dilakukan pemerintah saat ini. Kebijakan semacam itu hanya memengaruhi harga sementara waktu, tetapi tidak membuat orang menjadi produktif.

Keraguan pada kemampuan dan kinerja pemerintah memang selalu ada. Akan tetapi, bagaimanapun, pemerintah harus diberi kesempatan dengan sejumlah masukan. Pesimisme? Tak jadi soal. Bukankah seperti kata seorang panelis, ”Justru perubahan itu muncul tatkala kita di puncak pesimisme. Itulah tanda-tanda perubahan sudah dekat...” (ken)

 

No comments: