Saturday, March 15, 2008

CEO Indonesia Menuju Persaingan Dunia


Jumat, 14 Maret 2008 | 02:10 WIB

Oleh Abun Sanda

Ada fenomena menarik tentang para chief executive officer atau CEO Indonesia. Mereka masuk dalam jajaran elite perusahaan dalam usia relatif muda, 28-40 tahun. Berangkat dari bawah, mereka tidak saja bermodal rajin dan ulet tetapi juga berlatar belakang pendidikan tinggi.

Tidak ada CEO Indonesia, terutama di perusahaan yang sudah go public, naik panggung eksekutif karena aspek kebetulan atau serta-merta. Semua CEO tersebut adalah profesional yang tahan uji. Mereka adalah penerus estafet kepemimpinan perusahaan, bukan ahli waris perusahaan.

Harun Hayadi (46), CEO Ciputra Surya, misalnya, bisa menjadi contoh menarik. Pada usia 24 tahun, ia masuk grup Ciputra dalam posisi sebagai tenaga lapangan. Ia pernah berjuang di lantai pemasaran, penjualan, dan pengembangan perusahaan. Ia bersaing ketat dengan pekerja lainnya di Grup Ciputra.

Ketika mulai dipercaya sebagai CEO pada usia 30 tahun, tidak ada yang mencemooh dia, bahwa posisi itu ia genggam karena menjadi menantu Ciputra, sang pemilik. Perusahaan yang dipegang Harun berkembang amat pesat.

Kini, salah satu perusahaan yang dipegang Harun, Citra Raya Surabaya, menjadi salah satu perusahaan properti paling berkilau di Indonesia. Perusahaan ini fenomenal karena tidak kenal hujan dan panas. Selalu laris manis. Ia menjadi tonggak sukses perusahaan properti Indonesia. Dari 2.000 hektar areal yang dimiliki, sudah 860 hektar yang digarap.

Apa rahasia sukses Harun? Pria yang ramah ini dikenal rendah hati dan egaliter. Ia kembangkan teamwork kuat. Ia perhatikan kesejahteraan dan sangat menghargai staf yang berprestasi. Ia pun mengajak dialog staf yang lamban dan salah melulu.

Hal yang digarisbawahi anak buahnya, Harun tidak berlagak pintar, tidak pula berlagak bos. Harun suka datang dan bertanya kepada staf yang lebih mengerti suatu persoalan, atau para pengembang yang lebih berpengalaman.

”Kita jangan berlagak pintar deh. Selalu ada orang lebih pintar dan lebih pintar lagi. Di atas langit, kan, masih ada langit,” ujar Harun. Bagi dia, kegagalan tidak selamanya. Sukses pun demikian. Selalu ada pesaing yang mengintai untuk mengalahkan Anda. Oleh karena itu, waspadalah selalu.

Merangkak dari bawah

Gambaran tentang keuletan yang dipadu dengan kecerdasan juga tampak pada sejumlah eksekutif lain, misalnya pada G Sulistyanto (50), Managing Director Sinar Mas, salah satu korporat raksasa berskala dunia.

Jabatan formal Sulis, begitu ia biasa disapa, memang managing director, tetapi sehari-hari ia menjadi ”komandan” dari President Office Sinas Mas yang mengayomi lima korporat besar, masing-masing bergerak di bidang pulp and paper, finansial, agrobisnis, properti dan others, yakni bisnis-bisnis di luar empat korporat itu.

Empat CEO perusahaan besar masing-masing adalah anak Eka Tjipta Widjaja, yakni Teguh Ganda, Indra, Franky Osman, dan Muchtar Widjaja. Adapun others dipegang oleh beberapa eksekutif di antaranya Danny Josal dan Franky.

Sulis tidak serta-merta duduk di posisi elite itu. Pelobi tingkat tinggi yang lahir dari keluarga sangat sederhana ini, seperti Harun, berangkat dari lantai terbawah. Dari staf kecil, Sulis naik perlahan hingga menjadi salah seorang tumpuan harapan Sinar Mas.

Pengalaman paling berkesan yang ia alami adalah ketika menjadi Wakil Ketua Tim Restrukturisasi Sinar Mas (ketuanya Franky Widjaja). Sinar Mas ketika itu, 2000-2001, dalam posisi sangat kritis, Utang mencapai 11,5 miliar dollar AS. Angka ini fantastis karena besaran utang ini ”kelas dunia”. Pada saat bersamaan, harga kertas dan bubur kertas ataupun CPO (produk andalan Sinar Mas) jatuh. ”Saya sampai menghela napas bolak-balik menghadapi kenyataan begini,” ujar Sulis.

Akan tetapi, dengan determinasi dan wibawa tinggi Eka Tjipta (pendiri) dan timnya, Sinar Mas mampu keluar dari kesulitan. Harga kertas dan bubur kertas sudah naik, begitu pula CPO, menjadi primadona dunia. Sinar Mas berkilau lagi dan utang pun terbayar.

Dengan bekal pengalaman masa silam yang pahit, Eka Tjipta sebagai pendiri korporat memerintahkan anak-anaknya agar tidak berada dalam satu holding besar. Perusahaan itu kemudian dibagi menjadi lima bagian besar. Dengan formula ini, kata Sulis seandainya finansial bermasalah, ia tidak sampai mengganggu bisnis properti, kertas, agrobisnis dan others. Ia diharapkan survive sendiri.

Duduk di posisi amat penting di Sinar Mas, tidak membuat Sulis sulit ditemui. Pria ini tetap ramah dan bersedia mengangkat telepon teman dan mitranya. Ia tidak menutup diri ditemui wartawan dan orang-orang tidak mampu. Sulis dikenal membagi waktunya untuk edukasi, pendidikan, dan pemberdayaan orang miskin.

Lalu hendak ke mana Sinar Mas? Sulis menyatakan, tantangan ke depan menjadi perusahaan berkelas dunia. Kini perusahaan-perusahaan Sinar Mas bermain di wilayah Kanada, Amerika Serikat, China, Jepang, Eropa, Asia Tenggara, dan Asia Selatan.

Di China, misalnya, Sinar Mas menjadi salah satu raksasa properti di sana. Perusahaan ini juga bergerak di bidang perbankan dan ritel. Kiprah perusahaan ini di antaranya tampak di Beijing, kawasan pantai timur termasuk Shanghai, dan di selatan, Guangzhou.

Sulis menegaskan, perusahaan ini dijalankan dengan profesional. Tidak ada korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), atau ”koncoisme”. Siapa yang mampu, dialah yang diberi tempat layak. Jumlah karyawan Sinas Mas di Indonesia 320.000 orang. ”Jelas tidak mudah menangani tenaga kerja sebanyak itu. Tapi saya kira itu salah satu ujian bagi para CEO Indonesia,” katanya.

Dalam konteks yang tidak banyak berbeda, sosok CEO Indonesia yang berangkat dari bawah ialah Budi Karya Sumadi. Masuk Pembangunan Jaya Ancol pada usia 25 tahun, Budi mulai dari posisi supervisor. Dengan modal ketekunan, loyalitas, dan kreativitas ia menapak karier hingga menjadi direktur tahun 1994.

Budi menjadi CEO pada usia 47 pada tahun 2004. Ia mematahkan tradisi bahwa CEO di perusahaan itu dipegang oleh pendiri dan para pemegang saham. Prestasi Pembangunan Jaya Ancol pun sangat cemerlang.

Generasi kedua

Menurut data yang dihimpun Kompas, kini lebih kurang 40 persen CEO Indonesia yang masuk dalam Kompas100 datang dari pemilik, keluarga pemilik, atau orang dekat pemilik. Selebihnya adalah eksekutif yang tidak ada urusan dengan pemilik. Angka 40 persen ini diperkirakan secara perlahan menurun sejalan dengan makin kerasnya kompetisi bisnis dan kencangnya usaha para profesional menembus wilayah elite korporat.

Akan tetapi, aspek ini juga membuat pemilik dan keluarga pemilik berbenah diri untuk menyongsong tantangan. Para pemilik juga makin profesional dan tangguh bertarung di gelanggang kompetisi bisnis. Di antara para CEO dari kalangan pemilik, seorang di antaranya adalah Anthony Salim. Pria yang dingin pada pers ini refleksi dari CEO yang mampu menggabungkan kecerdasan, kreativitas, talenta bisnis, dan kerja keras menjadi satu aspek yang utuh.

Anthony terbiasa bangun pukul 05.00, olahraga ringan, dan mandi. Pukul 06.00 biasanya ia sudah keluar rumah; menuju kantor atau ke bandara. Ia suka melakukan perjalanan ke luar negeri dan kota-kota besar di Indonesia untuk urusan kerjaan.

Ia mempunyai beban berat menangani banyak usaha dengan karyawan lebih dari 500.000 orang. Namun, Anthony Salim selalu tampak sehat. Seorang anggota stafnya menyatakan, Anthony menyukai pekerjaannya dan tidak mengabaikan olahraga. Itu sebabnya, ia mempunyai energi luar biasa untuk menangani korporat sebesar Grup Salim.

Sehari Anthony kerap bisa menghadiri sepuluh rapat. Dan semua rapat ia kuasai materinya, padahal perusahaannya sangat banyak. Ia bahkan bisa berbicara lebih dalam dibandingkan dengan eksekutif yang menangani langsung perusahaan tersebut.

Kemampuan Anthony di antaranya tampak ketika ia menangani gejolak dan persaingan yang terjadi antarperusahaan mi instan, atau ketika menangani masalah minyak goreng yang rumit. Grup Salim bisa keluar dari masalah itu dengan senyum. Ini juga sebabnya, para eksekutif Indonesia menyebut Anthony Salim sebagai refleksi dari sukses generasi kedua bisnis Indonesia.

Gambaran lain tentang sukses CEO Kompas100 dari generasi kedua adalah James Tjahaja Riady. James mempunyai perbedaan formula dengan Anthony kendati di ujungnya, masing-masing meraih sukses besar.

James menggabungkan kemampuan bisnisnya dengan aspek beraroma spiritual sehingga ia banyak berbicara tentang sukses perusahaan dan kehendak Yang Maha Pencipta. James suka mengajak para stafnya tidak mengabaikan hubungan vertikal dengan Tuhan. Ia menggugah stafnya agar tidak sekadar memikirkan masalah duniawi.

Seperti eksekutif puncak lainnya, James amat sibuk. Namun, semua bisa ia atasi dengan mekanisme kerja yang sangat efektif. Pagi ia pasti berdoa, berolahraga, sarapan, lalu bekerja all out. Ia datang pada banyak rapat dengan inner circle perusahaan ataupun staf lainnya.

Hal yang menarik, wajahnya tampak segar meski bekerja sejak pukul 07.00 hingga larut malam. ”Nikmati pekerjaan Anda, dan selalu bersyukur kepada Allah. Dengan begitu Anda tidak pernah punya beban berat,” ujar James.

Perusahaan James meraksasa di banyak negara, di antaranya China, Hongkong, Singapura, Malaysia, dan Amerika Serikat. James bermain di wilayah finansial, properti, perbankan, jasa, dan ritel.

Hal yang bisa dipetik dari para CEO Indonesia, terutama yang masuk dalam Kompas100 ini, ialah mereka berlatar belakang pendidikan tinggi, berangkat dari level bawah.

Mereka mampu menggabungkan talenta, kecerdasan, naluri bisnis, dan kepekaan pada kondisi masyarakat. Mereka pun memiliki fisik sangat baik karena pandai menjaga kondisi. Penjagaan kondisi itu bukan semata karena minum obat atau vitamin, tetapi karena berolahraga teratur dan mampu ”menikmati” pekerjaan-pekerjaan berat.

Aspek lain yang menarik, kini muncul CEO-CEO muda, yang duduk di kursi itu ketika usia mereka mulai dari 27 sampai 32 tahun. Mereka umumnya berlatar belakang pendidikan luar negeri, pernah bekerja di luar negeri, berbakat, dan cerdas.

Menurut data Kompas, CEO perusahaan-perusahaan besar properti yang kini berkibar adalah anak-anak muda itu. Mereka, di antaranya, adalah Anindya Novyan Bakrie (Grup Bakrie), Solihin Kalla (Grup Hadji Kalla), Erwin Aksa (Grup Bosowa), Didi Teja (properti), Eiffel Tedja (Grup Pakuwon), dan Ronald Kumalaputera (properti). Mereka menjalankan bisnis raksasa dengan kapitalisasi ratusan sampai triliun rupiah.

No comments: