Wednesday, March 12, 2008

BLBI, Buram Berlatar Suram


Oleh Saldi Isra

Tertangkapnya Ketua Tim Penyelidikan Kasus BLBI Urip Tri Gunawan oleh KPK kian membenarkan anggapan yang selama ini berkembang: penanganan korupsi cenderung menimbulkan praktik korupsi baru, terutama suap.

Jamak diketahui, praktik itu dilakukan dengan ”memperdagangkan” kasus yang sedang ditangani. Dalam konteks itu, sebenarnya tidak ada yang aneh dengan kasus suap jaksa Urip.

Kalaupun ada yang tercengang, itu lebih disebabkan karena sulit memahami penyimpangan yang dilakukan seorang jaksa yang diseleksi secara khusus untuk menangani BLBI. Ketercengangan itu muncul dengan logika sederhana, jika jaksa terpilih seperti Urip berani melakukan penyimpangan dalam menangani kasus yang menjadi sorotan publik, bagaimana dengan sebagian jaksa lain yang tidak diseleksi secara khusus dalam perkara korupsi yang jauh dari pantauan publik.

Tulisan ini tidak hendak membahas perilaku menyimpang itu, tetapi lebih pada perkembangan setelah Urip ditangkap. Yang dimaksud adalah arah penyelesaian kasus, terutama dengan adanya pemeriksaan internal kejaksaan terhadap jaksa Urip. Selain itu, dengan tertangkapnya Ketua Tim Penyelidikan Kasus BLBI, apakah kejaksaan harus tetap dipertahankan untuk mengungkap megaskandal BLBI.

Kejadian berulang

Dugaan suap jaksa Urip bukan kasus pertama yang terjadi di lingkungan penegak hukum, terutama di kejaksaan. Penangkapan Urip mengingatkan kita pada kasus suap perkara korupsi mantan Direktur Utama Jamsostek Achmad Junaedi. Belum lagi kasus itu berhenti dibicarakan, kita dikejutkan tragedi bebasnya Adelin Lis, terdakwa pembalakan liar di Medan.

Daftar kasus suap di lingkungan kejaksaan bisa diperbanyak, misalnya dugaan suap Rp 900 juta dalam penanganan korupsi pembangunan Bandara Nabire yang dilakukan Hein Berhitu, Kepala Kejaksaan Negeri Nabire (ICW, 2008).

Secara umum, modus jaksa memperdagangkan kasus hukum terbilang sederhana: memperlambat proses hukum, menerbitkan SP3, dan merekayasa surat dakwaan dengan tuntutan ringan atau dakwaan kabur (obscure). Misalnya, disertasi Marwan Mas (2005: 453) membuktikan, hampir semua kasus megakorupsi yang diputus bebas disebabkan ketidakcermatan dakwaan penuntut umum. Kalaupun dibuat tuntutan berlapis, tuntutan itu tidak bersinergi antara sifat melawan hukum perbuatan terdakwa dan pasal-pasal tindak pidana korupsi yang dilanggar.

Sekiranya kesalahan itu terjadi pada satu atau dua kasus, alasan rumitnya modus korupsi, masih dapat diterima. Namun, ketika kejadiannya berulang, sulit untuk menerima, berbagai kesalahan yang menguntungkan pelaku korupsi disebabkan oleh keterbatasan pemahaman hukum penuntut umum. Patut diduga, faktor nonhukum (misalnya dalam bentuk suap) menjadi faktor dominan pemberantasan korupsi. Celakanya, praktik itu tidak hanya terjadi di lingkungan kejaksaan, tetapi di semua lapis lembaga penegak hukum.

”Tidak ada ampun”

Ketika kejaksaan memeriksa Urip, banyak kalangan mengkhawatirkan, langkah itu akan mengganggu proses hukum oleh KPK (Kompas, 9/3). Ini masuk akal karena pemeriksaan internal cenderung menyelesaikan kasus pidana dengan pelanggaran kode etik profesi. Misalnya dalam kasus pembangunan Bandara Nabire, hasil pemeriksaan jaksa agung muda pengawasan hanya berujung pencopotan Hein Berhitu dari jabatannya. Artinya, proses internal hanya mampu menjadikan kasus suap ”tuntas” sampai sanksi administrasi, tanpa diikuti proses pidana (ICW, 2008).

Atas dasar itu, pada batas-batas tertentu, pemeriksaan internal hanya dapat diterima jika dimaksudkan untuk mempermudah proses hukum oleh KPK. Namun, itu harus lebih difokuskan pada kemungkinan keterlibatan pihak lain di kejaksaan, bukan membawa kasus Urip masuk ranah pelanggaran kode etik profesi yang dalam banyak kasus cenderung digunakan untuk melindungi institusi dari proses hukum yang lebih terbuka.

Mengambil contoh sikap membuka diri Komisi Yudisial dalam kasus Irawady Joenoes, kejaksaan harus membantu KPK mempermudah proses penyidikan. Setidaknya semangat ”tidak ada ampun” yang dikemukakan Jaksa Agung Hendarman Supandji harus dimulai dengan membongkar kemungkinan keterlibatan pihak lain di lingkungan kejaksaan agung.

Keharusan penyelesaian kasus suap Urip di KPK bukan hanya karena pertimbangan itu, tetapi juga karena pengalaman KPK dalam menangani kasus suap yang dilakukan penegak hukum. Misalnya, kasus suap Ajun Komisaris Suparman, salah seorang penyidik KPK, dalam perkara korupsi PT Industri Sandang Nusantara. Contoh lain, penanganan kasus Irawadi Joenoes dalam kasus suap pembangunan gedung Komisi Yudisial.

Dalam kasus AK Suparman, misalnya, KPK benar-benar menerapkan konsep ”tidak ada ampun” bagi penegak hukum yang menyalahgunakan kewenangan. Meski semula banyak yang pesimistis, dalam perkembangannya, KPK mampu membuktikan, hukuman lebih berat pantas diberikan kepada aparat internal yang berlaku culas. Buktinya, Suparman dituntut 12 tahun penjara. Dalam putusannya, pengadilan tindak pidana korupsi menghukum Suparman selama delapan tahun penjara.

Dari dua contoh (Hein Berhitu dan Suparman) itu, semangat ”tidak ada ampun” lebih terbukti dilakukan KPK dibandingkan dengan kejaksaan. Karena itu, untuk memberi pesan dan efek jera bagi penegak hukum yang potensial menyalahgunakan kewenangan, KPK harus penuh didukung guna menuntaskan kasus Urip. Dengan demikian, segala langkah yang dapat mempersulit langkah KPK dapat dianggap sebagai perbuatan tercela.

KPK harus ambil alih

Di luar kelanjutan penanganan kasus Urip, usul pengambilalihan kasus BLBI oleh KPK harus segera diwujudkan. Dengan tertangkapnya Urip, dapat dikatakan, kejaksaan telah kehilangan segalanya untuk tetap dipertahankan sebagai institusi utama dalam menangani BLBI. Bahkan, peninjauan ulang atas penghentian penyelidikan sejumlah obligor BLBI tidak cukup untuk memulihkan kehormatan kejaksaan sebagai penyelidik megaskandal.

Satu-satunya cara adalah mendorong KPK mengambil alih kasus BLBI. Secara hukum, sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, KPK dapat mengambil alih kasus BLBI. Apalagi, kasus BLBI amat memenuhi syarat-syarat pengambilalihan yang ada dalam Pasal 9 UU No 30/2002. Di antara syarat yang paling relevan adalah penanganan kasus BLBI yang berlarut-larut dan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, tak ada pelanggaran terhadap asas nonretroaktif untuk mengambil alih kasus BLBI.

Perlu disadari, pengambilalihan merupakan instrumen untuk mengungkap kasus korupsi yang terjadi sebelum UU No 30/2002. Dalam pengertian itu, instrumen pengambilalihan merupakan hasil kreasi brilian pembentuk UU No 30/2002 untuk menerobos asas nonretroaktif. Sepanjang sudah ditangani kepolisian atau kejaksaan, asas retroaktif tidak lagi merupakan hambatan bagi KPK untuk menangani korupsi yang terjadi sebelum UU No 30/2002.

Masalahnya, di tengah luluh-lantaknya harapan dan kepercayaan pada kejaksaan, mengapa KPK tidak menggunakan kreasi brilian itu untuk mengambil alih kasus BLBI. Tanpa itu, negeri ini tidak akan pernah keluar dari potret buram berlatar suram penyelesaian megaskandal BLBI.

Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

No comments: