Wednesday, March 5, 2008

10 Th Krisis Ekonomi (6)


TIM EKONOMI TIDAK PERNAH BELAJAR


Secara umum, meskipun kesalahan respon kebijakan dan keterlibatan IMF telah memperparah krisis ekonomi 1997/1998, tetapi sangat menyedihkan ternyata pemerintah Indonesia tidak pernah belajar dari blunder-blunder dalam antisipasi maupun terapi krisis. 10 tahun kemudian, tim ekonomi pemerintah cenderung memandang gelembung finansial sebagai prestasi yang membanggakan dan secara langsung atau tak langsung selalu mempromosikan hot money. (Iman Sugema, Bisnis Indonesia, 3 Agustus 2007, hal 2).

Padahal seperti yang dikatakan sebelumnya, hot money bagaikan pisau bermata dua. Di satu saat bisa menggelembungkan aset finansial, tetapi di saat yang lain juga bisa menghancurkannya kembali. Oleh karena itu, sadar atau tidak, promosi hot money berlebihan oleh tim ekonomi pemerintah justru telah mengantarkan Indonesia kepada kondisi yang semakin rentan. Semakin banyak hot money mengalir ke Indonesia, semakin besar pula potensi bahaya yang dihadapi ekonomi Indonesia.

Di samping itu, kenaikan nilai aset finansial yang sangat tinggi justru memperlambat perkembangan sektor riil. Sebab, jika tingkat return di sektor finansial jauh lebih tinggi dari tingkat return di sektor riil, pemilik modal akan cenderung melakukan investasi di sektor finansial dibandingkan sektor riil. Akibatnya, kesenjangan antara sektor finansial dengan sektor riil semakin melebar. Sektor finansial terus menggelembung, sementara sektor riil semakin terpuruk, sehingga terjadi missing link antara perkembangan sektro finansial dan sektor riil.

Negara-negara lain di Asia, yang bangkit lebih awal dari Indonesia justru sangat khawatir terhadap dampak negatif aliran hot money yang berlebihan. Sejumlah negara telah melakukan berbagai langkah antisipatif untuk meredam aliran masuk hot money. Pemerintah China misalnya, telah menaikkan pajak transaksi di pasar sahamnya akhir Mei 2007 dan menerapkan sanksi berat kepada bank internasional yang memfasilitasi masuknya dana asing ke China dalam jumlah besar. Demikian juga pemerintah Thailand yang dengan berbagai cara berupaya mendepresiasikan mata uang Baht, karena mata uang yang terlalu kuat telah mengganggu kinerja ekspor yang menyumbang duapertiga dari GDP (Gross Domestic Product) Thailand.

Berbagai kekhawatiran negara lain tersebut seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah Indonesia agar tidak terus terlena dan over-confidence terhadap gelembung finansial yang terbentuk akibat derasnya aliran hot money. Sikap over-confidence lah yang telah mengantarkan Indonesia masuk ke jurang krisis yang sangat parah 10 tahun lalu.


***


[1] ECONIT Advisory Group dan Institut Bankir Indonesia: “Studi Struktur Dan Kebijaksanaan Strategis Industri Perbankan Indonesia Pasca Tahun 2000”, 1997

[2] Diungkapkan dalam “ECONIT’s Economic Outlook 1996: A Year of Consolidation, Bagian 2 hal 28”, November 1995.

[3] Diungkapkan dalam “ECONITS’s Economic Outlook 1996: A Year of Consolidation, Bagian 3 hal 17”, November 1995.

[4] Diungkapkan dalam “ECONIT’s Economic Outlook 1997: A Year of Uncertainty”, 5 November 1996.

[5] Buku “10 tahun krisis moneter: Kesiapan menghadapi krisis kedua”, InfoBank, Juli 2007

[6] Kutipan langsung Econit’s Public Policy Review (EPPR): “ Saran Untuk Meminta Bantuan IMF: Penjerumusan atau Ketidak Tahuan ?”, Hal 3, tanggal 8 Oktober 1997.

[7] Kutipan langsung Econit’s Public Policy Review (EPPR): “ Saran Untuk Meminta Bantuan IMF: Penjerumusan atau Ketidak Tahuan ?”, Hal 4, tanggal 8 Oktober 1997.

[8] Kutipan langsung Econit’s Public Policy Review (EPPR): “ Saran Untuk Meminta Bantuan IMF: Penjerumusan atau Ketidak Tahuan ?”, Hal 4, tanggal 8 Oktober 1997.

[9] Baca paper Koalisi Anti Utang (KAU): “Mafia Berkeley: Kegagalan Indonesia menjadi Negara Besar di Asia”, tanggal 6 Juni 2006

[10] Baca dua paper TIB: (1) ”Ekonomi Indonesia 2006: Penundaan Kebangkitan Ekonomi”, 26 Jan 2006, Hal 3; (2) ”Perlambatan Pemulihan Ekonomi & Kesenjangan Yang Semakin Lebar”, 18 Mei 2006.

No comments: