Wednesday, March 5, 2008

10 Th Krisis Ekonomi (4)


PERUBAHAN KEBIJAKAN: TERHAMBAT MITOS


Pada tahun 2002, kami beserta puluhan ekonom lainnya yang tergabung dalam Tim Indonesia Bangkit (TIB) mengusulkan agar pemerintah segera memutuskan hubungan dengan IMF. Saat itu, kami juga mengajukan berbagai kebijakan alternatif dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi pasca pemutusan hubungan dengan IMF.

Namun sayangnya, berbagai upaya untuk menghentikan program IMF tersebut terhambat oleh mitos-mitos yang sengaja dikembangkan oleh mafia ekonom Orde Baru (Mafia Berkeley). Ada sejumlah mitos tentang IMF yang dikembangkan oleh mafia ekonom Orde Baru yang semakin memperdalam ketergantungan Indonesia kepada utang luar negeri.

Mitos pertama adalah bahwa IMF akan meningkatkan kepercayaan investor terhadap Indonesia. Setelah belasan kali Letter of Intent dan tujuh tahun dibawah pengawasan IMF, tingkat kepercayaan investor terhadap Indonesia belum pulih. Persoalan utamanya bukanlah IMF tetapi ketidakstabilan politik, kurangnya rasa aman dan tidak adanya penegakan hukum. Jika ketiga hal tersebut dipenuhi kepercayaan investor pasti meningkat tanpa perlu IMF.

Mitos kedua adalah bahwa pinjaman IMF akan diikuti oleh aliran modal swasta. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Selama Indonesia terikat program dengan IMF, telah terjadi decoupling antara aliran modal multilateral dengan aliran modal swasta ke Indonesia: yang terjadi justru adalah aliran modal swasta keluar dari Indonesia (lihat Grafik-3). Sekali lagi persoalannya adalah ketidakstabilan politik, kurangnya rasa aman dan tidak adanya penegakan hukum.

Mitos ketiga adalah bahwa IMF akan mampu menstabilkan nilai tukar rupiah. Mitos ini betul-betul sudah menjadi lelucon karena yang terjadi justru sebaliknya. Sejak Oktober 1997, setiap kali tim IMF datang ke Jakarta justru nilai rupiah merosot. Dan dalam setiap kesempatan seperti itu, Bank Indonesia terpaksa melakukan intervensi untuk memperkuat rupiah dengan biaya yang mencapai puluhan juta dolar. Secara umum, seperti dikemukakan oleh Dr. Didik Rachbini hubungan antara IMF dan nilai tukar rupiah bersifat asimetrikal. Jika IMF menyatakan hal positif tentang Indonesia, rupiah tidak menguat, tetapi jika IMF mengkritik Indonesia, rupiah melemah. Penguatan nilai rupiah selama semester pertama tahun 2002 tidak bisa dikatakan sebagai prestasi IMF karena sebagian besar dari penguatan nilai tukar rupiah sejak awal tahun 2002 terutama disebabkan oleh melemahnya mata uang US$ terhadap seluruh mata uang di dunia. Faktor lain yang membantu penguatan nilai tukar rupiah pada waktu itu adalah stabilitas politik politik di dalam negeri karena perilaku Presiden Megawati yang tidak kontroversial dan adanya kesepakatan oleh partai-partai politik untuk menjaga stabilitas politik sampai tahun 2004.

Mitos keempat adalah bahwa IMF bersekongkol dengan kreditor lainnya untuk memberikan atau menahan pinjaman kecuali negara yang bersangkutan setuju dengan program IMF. Kekhawatiran ini tidak seluruhnya benar karena masing-masing kreditor mempunyai kepentingan strategis dan ekonomis yang berbeda terhadap Indonesia. Pada saat kami menjadi Menko, misalnya, ditandatangani Loan Agreements dengan Bank Dunia, Jepang dan ADB walaupun LoI dengan IMF belum disepakati. Hal itu dimungkinkan karena banyak kreditor yang juga menilai bahwa IMF terlalu “ngeyel” dan sering melakukan perubahan prasyarat (rolling conditionalities). Keinginan persekongkolan tersebut justru akan menjerumuskan negara yang ingin dibantu, menyebabkan kesulitan cashflow yang pada akhirnya justru akan merugikan kepentingan kreditor jika Indonesia mengalami default.

Berbagai mitos tersebut terus menerus dikembangkan oleh mafia ekonom Orde Baru sehingga masyarakat terus terkecoh bahwa tanpa IMF Indonesia bangkrut dan hancur berantakan. Malaysia mengatasi krisis tanpa pinjaman IMF. Pemerintah Taksin di Thailand tidak memperbaharui kontrak dengan IMF, dan ternyata Thailand tidak hancur berantakan. Tetapi harus dicatat bahwa pemberhentian kontrak dengan IMF tidak berarti berhenti menjadi anggota IMF.

Sebetulnya sejak tahun 2002, Indonesia samasekali tidak memerlukan pinjaman IMF. Karena pinjaman IMF tersebut bersifat cadangan kedua (second tier defense), artinya pinjaman US$400 juta tersebut hanya untuk tambahan cadangan devisa dan baru dapat digunakan jika Indonesia telah menghabiskan seluruh cadangan devisa yang ada (saat ini US$28 miliar). Suatu hal yang nyaris sulit dilakukan, terutama karena Indonesia menganut sistem flexible exchange rates. Dalam sistem flexible exchange rate, tidak diperlukan cadangan devisa terlalu besar karena nilai tukar akan menyesuaikan diri sesuai dengan kondisi neraca pembayaran. Dengan kata lain pinjaman IMF tersebut tidak dapat digunakan tetapi Indonesia harus tetap membayar bunganya. Jadi tidak betul pernyataan Menko Perekonomian pada saat itu yang menyatakan bahwa bunga IMF adalah paling murah karena kenyataannya pinjaman tersebut tidak digunakan tetapi bunganya harus dibayar terus. Untuk tahun 2001, misalnya, Indonesia menerima pinjaman IMF sebesar US$400 juta sementara Indonesia harus membayar cicilan pinjaman kepada IMF sebesar US$2,3 miliar, yang terdiri dari cicilan pokok sekitar US$1,8 miliar dan bunga sekitar US$500 juta. Inilah biaya dari dokter yang telah melakukan malpraktek tetapi terus menagih biaya amputasi plus bunganya kepada pasien yang sedang koma.

Peningkatan pinjaman luar negeri lewat IMF untuk “menggelembungkan” neraca pembayaran hanyalah perbaikan bersifat artifisial karena tidak berasal dari peningkatan aliran modal swasta maupun peningkatan ekspor netto. Peningkatan pinjaman untuk “menggelembungkan” neraca pembayaran, juga menutup kemungkinan Indonesia untuk meminjam untuk pembiayaan proyek terutama untuk rehabilitasi infrastruktur, irigasi dan proyek padat karya lainnya. Dengan kata lain, ada loss opportunity karena Indonesia terus menerus melakukan pinjaman untuk menggelembungkan neraca pembayaran.

Dalam wawancara terbarunya di Business Week (19 November 2001), pemenang Nobel ekonomi 2001, Prof. Joseph Stiglitz dari Universitas Colombia menyatakan “program IMF yang jangka waktunya lebih dari dua tahun merupakan bukti dari kegagalan IMF”. Indonesia adalah salah satu contoh kegagalan besar IMF karena telah berlangsung selama enam tahun (1997-2003). Menurut Stiglitz: “IMF memaksakan telalu banyak prasyarat (conditionalities), sebagian diantaranya bersifat politis, dan sering masuk dalam wilayah mikroekonomi, yang berada diluar mandat dan kompetensi IMF (yang terbatas hanya pada bidang makroekonomi)”.


10 TAHUN KEMUDIAN

Krisis 1997/1998 sebenarnya telah meninggalkan banyak hikmah yang dapat dipetik oleh pengambil kebijakan ekonomi. Namun dalam kenyataannya, pengambil kebijakan ekonomi tidak banyak menarik pelajaran dari krisis tersebut. Kebijakan ekonomi masih cenderung konservatif dan terlalu fokus pada upaya menjaga stabilitas indikator finansial dan moneter. Meskipun IMF telah anjak kaki dari Indonesia, kebijakan konservatif dalam bidang anggaran dan moneter masih terus dipraktekkan sekedar hanya untuk memoles indikator finansial seperti inflasi dan nilai tukar rupiah. Padahal di negara manapun, target utama sebuah pemerintahan di bidang ekonomi adalah pengurangan kemiskinan dan pengangguran. Ini dapat dicapai dengan mendorong peningkatan investasi dan produktivitas di sektor riil, terutama sektor manufaktur yang menyerap banyak tenaga kerja. Indikator finansial hanya merupakan target antara untuk mencapai target utama ekonomi yaitu peningkatan kesejahteraan dan lapangan kerja.

Memang upaya untuk menjaga stabilitas sektor finansial merupakan suatu langkah yang penting untu ekonomi. Namun upaya berlebihan untuk menstabilkan indikator finansial selama ini justru kerap mengorbankan sektor riil yang berujung pada peningkatan kemiskinan dan pengangguran. Upaya untuk menekan inflasi berlebihan misalnya telah mengorbankan keleluasaan ekonomi untuk tumbuh sesuai potensinya. Bahkan inflasi yang diakibatkan oleh kenaikan harga-harga barang yang dikontrol pemerintah (administered prices) pun ditekan dengan pengetatan moneter, seperti yang terjadi pada saat kenaikan harga BBM Oktober 2005.

Dari sisi fiskal, anggaran belanja pemerintah yang seharusnya dapat dipergunakan sebagai stimulus ekonomi, justru dibuat sangat ketat, yang tercermin pada defisit anggaran yang sangat rendah. Pada periode 2002-2006, defisit anggaran berkisar antara 0.5 persen - 1.7 persen dari GDP, jauh lebih rendah dari batas maksimum yang ditentukan dalam Undang-Undang sekitar 3 persen.

Akibat dari fokus berlebihan pada target finansial dan moneter, sektor riil mengalami pertumbuhan yang sangat lambat selama empat tahun terakhir. Pada periode 2002 sampai 2006, indeks produksi industri berskala menengah dan besar di Indonesia hanya meningkat rata-rata sekitar 2.1 persen per tahun. Pada tahun 2006, indeks produksi manufaktur malah mengalami penurunan dibanding tahun 2005 (lihat Grafik-4). perkembangan lainnya bahkan menunjukkan gejala awal dari proses deindustrialisasi dalam bentuk investasi dan penggunaan kapasitas terpasang yang rendah, realokasi industri ke negara lain, industrialisasi yang berubah menjadi perdagangan produk impor dsb.

Kualitas pertumbuhan ekonomi pun menjadi sangat rendah. Daya serap tenaga kerja untuk setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi, merosot dari 500 ribu tenaga kerja menjadi hanya sekitar 240 ribu tenaga kerja. Tidak aneh jika jumlah pengangguran terbuka mengalami lonjakan dari 9.1 juta orang pada tahun 2002 menjadi 10.5 juta orang pada Feb 2007 (lihat Grafik-5)

Namun ironisnya kemandegan sektor riil tersebut samasekali tidak tergambarkan dalam sektor finansial. Sejumlah indikator finansial dan moneter justru menunjukkan kinerja sebaliknya. Indeks harga saham di Bursa Efek Jakarta (BEJ) misalnya, telah meningkat tiga setengah kali lipat, dari level 700 pada tahun 2004 menjadi 2.380 pada 23 Juli 2007. Demikian juga cadangan devisa meningkat drastis dari US$ 35 miliar pada tahun 2006 menjadi US$ 51 miliar pada Juli 2007, yang membantu stabilitas nilai tukar rupiah.

<<>>


 

No comments: