M Ikhsan Modjo
Pasar keuangan dunia kembali terguncang. Selasa, 22 Januari lalu, indeks Dow Jones bursa saham Amerika Serikat terkoreksi 400 poin yang diikuti oleh keterpurukan bursa saham di seluruh dunia. Di Indonesia, kejatuhan ini diikuti dengan pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan sebesar 191 poin atau 7,6 persen pada hari Selasa.
Ambruknya pasar modal dunia tidak lepas dari ancaman resesi di Amerika Serikat (AS) yang akan menyeret perekonomian global ke jurang yang sama. Saat ini terdapat semacam konsensus di kalangan ekonom AS bahwa akan terjadi resesi. Tidak kurang dari Alan Greenspan, mantan Gubernur The Fed, dan ekonom terkemuka Paul Krugman, memprediksikan bahwa resesi akan terjadi.
Resesi AS kali ini tidak lepas dari kenaikan harga minyak dan turbulensi keuangan sebagai akibat dari krisis subprime mortgage. Di AS, krisis ini diestimasi telah menyebabkan kerugian sebesar lebih kurang 40 miliar dollar AS akibat default payment dan devaluasi aset keuangan. Jumlah ini terus bertambah seiring dengan bertambahnya lembaga keuangan yang gulung tikar atau mengakomodasi nilai kerugian ke dalam laporan keuangan.
Dalam hal ini, merebaknya krisis di AS menjadi krisis global terkait dengan struktur sistem keuangan dunia yang semakin erat berhubungan. Semakin banyak aset keuangan AS, baik yang berbasis mortgage (pinjaman rumah) atau aset fisik lainnya, yang dimodifikasi dan diderivasi menjadi banyak bagian dan dijual ke pasar mancanegara. Satu estimasi menunjukkan bahwa nilai jenis aset ini tidak kurang dari 2 triliun dollar AS.
Kondisi ini, di satu sisi, menyebabkan semakin likuidnya pasar global akibat risiko tertanggung menjadi lebih kecil. Di sisi lain, hal ini menyebabkan semakin terkaitnya satu pasar dengan pasar yang lain. Dengan demikian, tidak mengherankan bila terdapat satu sindrom pasar global, di mana kepanikan satu tempat akan cepat menjalar menjadi kepanikan di pasar yang lain, yang berpotensi menjadi satu krisis.
Sindrom akut pasar global ini terbukti terjadi pada Selasa lalu. Kepanikan yang terjadi di pasar keuangan AS menyebar dalam hitungan detik pada pasar keuangan negara lain, termasuk Indonesia. Banyak investor asing, terutama yang berorientasi jangka pendek, menarik dananya secara besar-besaran pada perekonomian nasional akibat meningkatnya persepsi risiko, yang merontokkan bukan hanya bursa saham, tetapi juga nilai tukar rupiah.
Selain dampaknya pada pasar uang, krisis keuangan dan ancaman resesi di AS juga menyebabkan suramnya ekspektasi pertumbuhan global, mengingat besarnya daya serap AS terhadap ekspor banyak negara. Bagi Indonesia, AS adalah penyerap terbesar kedua ekspor komoditas nonmigas setelah Jepang dengan sumbangan 13-14 persen dari total ekspor. Dengan demikian, tidak mengherankan ancaman resesi AS juga mengganggu ekspektasi produksi, terutama produksi sektor manufaktur.
Selain melemahnya permintaan dari AS, ancaman juga datang dari produsen negara berkembang lain, seperti China dan Vietnam, yang akan merelokasi ekspornya ke pasar lokal. Akibatnya, permintaan untuk produsen nasional tertekan dua kali, yang akan menurunkan investasi. Hal ini pada gilirannya menekan pendapatan nasional, mengingat pertumbuhan domestik selama ini dimotori ekspor dan investasi. Estimasi Bank Dunia menunjukkan terdapat korelasi pertumbuhan antara ekonomi AS dan Indonesia sebesar lebih kurang 0,5. Dengan kata lain, setiap 2 persen pelemahan pertumbuhan ekonomi AS akan direspons dengan 1 persen pelemahan ekonomi nasional.
Prospek pelemahan pertumbuhan ekonomi nasional ini menghadapkan Bank Indonesia (BI) pada satu situasi yang dilematis. Di satu sisi BI bisa meniru langkah yang diambil oleh The Fed dengan menurunkan suku bunga SBI. Penurunan suku bunga ini akan menstimulus permintaan domestik untuk banyak komoditas, terutama permintaan yang sensitif suku bunga, seperti properti dan jasa konstruksi. Kenaikan permintaan ini akan mengompensasi kejatuhan permintaan produk lain sehingga perlambatan pertumbuhan bisa dicegah.
Di sisi lain, penurunan suku bunga BI akan lebih mendesak tingkat inflasi ke atas. Padahal, prospek inflasi pada triwulan pertama tahun 2008 ini sudah cukup tinggi, akibat gejolak pangan, kenaikan harga minyak, dan berbagai bencana yang mengganggu distribusi. Dengan demikian, bila dipaksakan untuk turun, kenaikan tingkat harga bisa menjadi tidak terkendali dan bahkan menyebabkan banyak komoditas hilang dari pasar, yang akan mengganggu bukan hanya sendi ekonomi, tetapi juga sendi sosial dan politik negara.
Untuk itu, instrumen yang harus digunakan dalam turbulensi global kali ini tidak bisa tidak adalah kebijakan fiskal. Masalahnya, peningkatan jumlah defisit di atas angka 1,7 persen, atau Rp 74 triliun, yang ditargetkan pada APBN 2008 adalah tidak sehat secara ekonomis. Peningkatan defisit lebih dari yang ditetapkan akan mengakibatkan efek pendesakan keluar (crowding–out effect), yang berakibat kurang lebih sama dengan kebijakan moneter kontraktif berupa kenaikan suku bunga. Begitu juga pengurangan subsidi tidak bisa serta-merta dilakukan karena selain berisiko politik tinggi juga akan menyebabkan tekanan yang sama pada tingkat harga dan suku bunga.
Satu-satunya terobosan yang bisa dilakukan adalah kebijakan fiscal switching, berupa relokasi belanja negara yang bersifat rutin, seperti belanja pegawai, pada belanja yang bersifat modal. Belanja yang bersifat modal memiliki efek multiplier lebih besar pada permintaan agregat nasional sehingga bisa mengompensasi kejatuhan investasi swasta dan ekspor. Untuk itu yang pertama diperlukan adalah kesadaran dan konsensus di kalangan pengambil kebijakan, para birokrat dan politisi. Sebab, selama ini kendala untuk kebijakan fiscal switching bukan hanya tidak adanya kemauan pengambilan kebijakan, tetapi juga kendala birokrasi dan politicking di DPR.
M Ikhsan Modjo Pengajar FE UNAIR, Ekonom pada Institute for Development of Economic and Finance (INDEF)
No comments:
Post a Comment