Penanganan terhadap kasus dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp127,75 miliar telah mencuatkan imajinasi-imajinasi politik pada sebagian masyarakat.
Mereka menilai kepentingan hukum bukan pertimbangan satu-satunya pengguliran persoalan yang bisa menjerat sejumlah petinggi Bank Indonesia (BI) itu. Di antara mereka bahkan ada yang beranggapan ditanganinya masalah ini beberapa bulan menjelang pengajuan calon Gubernur BI periode 2008- 2013 dimaksudkan untuk mengganjal pihak tertentu menduduki jabatan tersebut.
Pandangan itu belum tentu menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa dikesampingkan karena bukan sesuatu yang tanpa preseden. Meski Indonesia secara formal dan prosedural telah tertransformasikan menjadi negara demokratis, tata laksana pemerintahan yang baik (good governance) belum sepenuhnya terlembagakan.
Akibatnya, praktik-praktik kenegaraan di masa lampau yang tidak baik masih dapat disaksikan di sepanjang kurun transisi sosial-ekonomi dan politik yang telah berlangsung sejak 1998. Penegakan hukum merupakan salah satu bidang yang masih menyisakan persoalan.
Bagi sebagian masyarakat, penegakan hukum yang bersifat tanpa pandang bulu (impartial), adil, dan objektif belum dapat diwujudkan secara mantap. Kadang-kadang, semangat untuk menegakkan hukum demi dan atas nama hukum terpancang kuat. Akan tetapi, tak jarang masyarakat juga didorong untuk mengembangkan imajinasiimajinasi lain dalam melihat sebuah kasus hukum.
Dengan kata lain, penegakan hukum belum tentu dimaksudkan untuk menegakkan hukum semata. Sesuatu yang dalam bentuk formalnya merupakan kegiatan penegakan hukum, tetapi menebarkan aroma politik yang kuat. Penanganan terhadap kasus almarhum Presiden Soeharto adalah salah satu contoh.
Sejak mundur pada Mei 1998, penguasa yang pernah mengendalikan negeri ini selama 32 tahun itu kerap dipandang sebagai pelaku tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Anehnya, tuduhan yang dikenakan kepadanya sama sekali tidak berkaitan dengan kapasitas dirinya sebagai presiden, tetapi sebagai ketua yayasan sosial.
Lagipula, meskipun Soeharto sudah dinyatakan pengadilan sebagai pihak yang tidak fit to stand trial karena sakit permanen, tetap saja kasusnya digulirkan. Menariknya, persoalan Soeharto selalu muncul ketika yang bersangkutan menjadi berita: menemui tamu penting, merayakan ulang tahun, menghadiri acara perkawinan, melakukan kegiatan sosial-keagamaan, dan sebagainya.
Penanganan seperti itu telah memunculkan pandangan kuat di masyarakat bahwa penanganan terhadap persoalan Soeharto sarat dengan kepentingan politik. Bahkan, kasus itu sendiri telah menjadi komoditas politik. Dalam tingkatan dan intensitas yang berbeda, aroma politik juga tercium dalam kasus YPPI.
Seperti telah disebutkan, sebagian masyarakat melihat penanganan hukum terhadap kasus YPPI sebagai sesuatu yang juga berdimensi politik. Salah satu alasannya terletak pada proses penanganan masalah tersebut yang tidak "tepat waktu". Jika informasi yang diberitakan berbagai media massa benar adanya, bahwa kasus ini sudah diketahui lama, mengapa penanganannya berdekatan dengan proses pencalonan Gubernur BI untuk periode 2008- 2013?
Mungkin saja hal yang demikian ini bersifat kebetulan belaka.Artinya, kedekatan waktu bukan sesuatu yang dirancang sebelumnya. Meski demikian, dengan dinamika penegakan hukum selama ini,sebagian masyarakat sulit untuk berpikir dalam kerangka "kebetulan". Situasi kejiwaan (state of mind) mereka dalam menyikapi berbagai kasus hukum sering disertai reservasi-reservasi tertentu.
Begitu pula tak jarang mereka meletakkan atau mengaitkan proses penegakan hukum dalam konteks peristiwa tertentu. Penanganan kasus YPPI yang melibatkan sejumlah pimpinan BI, yang berdekatan waktunya dengan pengajuan Gubernur BI, memberi amunisi kepada sebagian masyarakat untuk melihatnya sebagai alat untuk ikut memengaruhi proses pengajuan tersebut.
Banyak orang menilai Burhanuddin Abdullah berpeluang kuat untuk diajukan sebagai calon Gubernur BI periode 2008-2013. Ini bukan karena ia baru satu periode menduduki kursi Gubernur BI, tetapi lantaran dirinya dianggap berhasil menjalankan tugas utama bank sentral: menstabilkan nilai rupiah.
Sebagian besar karena kerja keras dirinya dan seluruh aparat BI, tampilan makro ekonomi Indonesia pun menjadi cukup baik sepanjang tiga tahun terakhir ini. Ditetapkannya Burhanuddin Abdullah oleh KPK sebagai salah seorang tersangka dalam kasus YPPI telah mengempaskan kesempatannya untuk dicalonkan kembali sebagai Gubernur BI.
Bergulirnya proses penanganan kasus YPPI yang sedemikian itulah yang dapat digunakan sebagai penjelasan mengapa sebagian masyarakat melihat kasus hukum ini sebagai sesuatu yang juga bernada politis.Penanganan yang tidak "tepat waktu" tidak hanya merugikan Burhanuddin Abdullah sebagai pribadi dan Gubernur BI, tetapi juga merugikan bank sentral sebagai sebuah lembaga.
Hal ini terlihat dari putusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak mengajukan calon gubernur dari BI. Dalam situasi normal, tidak diajukannya orang dari BI adalah peristiwa biasa.Namun, dengan adanya kasus YPPI, hal itu bisa menimbulkan anggapan bahwa seluruh jajaran pimpinan BI merupakan pihak yang tidak kredibel untuk memimpin institusi tempat mereka berkarier selama ini.
Bukan mustahil jika citra seperti ini dipelihara, bisa jadi karier kebanksentralan mereka mandek.Perasaan seperti ini potensial menghambat kegairahan mereka dalam bekerja. Kita tidak berharap imajinasi-imajinasi politik ini berkembang secara tidak terkendali.
Peringatan ini perlu dikemukakan karena pemilihan Gubernur BI kali ini juga berdekatan dengan pesta politik yang akan digelar pada 2009. Pada tahun itu, pergantian kepemimpinan nasional akan berlangsung. Karena hak prerogatif pengajuan calon gubernur ada pada Presiden, bisa saja ada yang tergoda mengaitkan pengajuan calon dengan peristiwa politik akbar yang sudah pasti memerlukan biaya besar itu.
Selalu saja tersedia pihak yang akan menilai bahwa preferensi Presiden atas calon tertentu bukan karena didorong oleh motivasi kenegarawanannya, tetapi karena harapan-harapan yang bersifat pribadi. Memang, undang-undang telah mengamanatkan bahwa BI adalah lembaga independen, bebas dari campur tangan pemerintah. Akan tetapi, masyarakat juga paham bahwa kita adalah bangsa yang sering tak bebas dari rasa ewuh pekewuh, utang budi, dan sebagainya.
Hak Presiden untuk mengajukan calon, ditambah dengan praktik tata laksana pemerintahan yang baik yang belum melembaga, dapat membuat perasaan-perasaan tersebut berkembang secara tak terukur. Inilah jeratan dan hambatan kultural ? bahkan mungkin kema-nusiaan? utama bagi kita untuk berlaku jernih dan nuchter agar bisa mem-bedakan wilayah publik dan privat; untuk mampu berlaku secara bertanggung jawab atas amanat yang tengah digenggamnya.
Jika saja penanganan terhadap kasus YPPI bersifat "tepat waktu", imajinasi-imajinasi politik sebagian masyarakat seperti dipaparkan di atas barangkali tidak akan berkembang. Memang,kita juga sadar bahwa kasus tersebut dapat mendatangkan dampak- dampak yang bersifat nonhukum (antara lain moneter dan nilai tukar rupiah). (*)
Prof Dr Bahtiar Effendy
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta
Mereka menilai kepentingan hukum bukan pertimbangan satu-satunya pengguliran persoalan yang bisa menjerat sejumlah petinggi Bank Indonesia (BI) itu. Di antara mereka bahkan ada yang beranggapan ditanganinya masalah ini beberapa bulan menjelang pengajuan calon Gubernur BI periode 2008- 2013 dimaksudkan untuk mengganjal pihak tertentu menduduki jabatan tersebut.
Pandangan itu belum tentu menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa dikesampingkan karena bukan sesuatu yang tanpa preseden. Meski Indonesia secara formal dan prosedural telah tertransformasikan menjadi negara demokratis, tata laksana pemerintahan yang baik (good governance) belum sepenuhnya terlembagakan.
Akibatnya, praktik-praktik kenegaraan di masa lampau yang tidak baik masih dapat disaksikan di sepanjang kurun transisi sosial-ekonomi dan politik yang telah berlangsung sejak 1998. Penegakan hukum merupakan salah satu bidang yang masih menyisakan persoalan.
Bagi sebagian masyarakat, penegakan hukum yang bersifat tanpa pandang bulu (impartial), adil, dan objektif belum dapat diwujudkan secara mantap. Kadang-kadang, semangat untuk menegakkan hukum demi dan atas nama hukum terpancang kuat. Akan tetapi, tak jarang masyarakat juga didorong untuk mengembangkan imajinasiimajinasi lain dalam melihat sebuah kasus hukum.
Dengan kata lain, penegakan hukum belum tentu dimaksudkan untuk menegakkan hukum semata. Sesuatu yang dalam bentuk formalnya merupakan kegiatan penegakan hukum, tetapi menebarkan aroma politik yang kuat. Penanganan terhadap kasus almarhum Presiden Soeharto adalah salah satu contoh.
Sejak mundur pada Mei 1998, penguasa yang pernah mengendalikan negeri ini selama 32 tahun itu kerap dipandang sebagai pelaku tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Anehnya, tuduhan yang dikenakan kepadanya sama sekali tidak berkaitan dengan kapasitas dirinya sebagai presiden, tetapi sebagai ketua yayasan sosial.
Lagipula, meskipun Soeharto sudah dinyatakan pengadilan sebagai pihak yang tidak fit to stand trial karena sakit permanen, tetap saja kasusnya digulirkan. Menariknya, persoalan Soeharto selalu muncul ketika yang bersangkutan menjadi berita: menemui tamu penting, merayakan ulang tahun, menghadiri acara perkawinan, melakukan kegiatan sosial-keagamaan, dan sebagainya.
Penanganan seperti itu telah memunculkan pandangan kuat di masyarakat bahwa penanganan terhadap persoalan Soeharto sarat dengan kepentingan politik. Bahkan, kasus itu sendiri telah menjadi komoditas politik. Dalam tingkatan dan intensitas yang berbeda, aroma politik juga tercium dalam kasus YPPI.
Seperti telah disebutkan, sebagian masyarakat melihat penanganan hukum terhadap kasus YPPI sebagai sesuatu yang juga berdimensi politik. Salah satu alasannya terletak pada proses penanganan masalah tersebut yang tidak "tepat waktu". Jika informasi yang diberitakan berbagai media massa benar adanya, bahwa kasus ini sudah diketahui lama, mengapa penanganannya berdekatan dengan proses pencalonan Gubernur BI untuk periode 2008- 2013?
Mungkin saja hal yang demikian ini bersifat kebetulan belaka.Artinya, kedekatan waktu bukan sesuatu yang dirancang sebelumnya. Meski demikian, dengan dinamika penegakan hukum selama ini,sebagian masyarakat sulit untuk berpikir dalam kerangka "kebetulan". Situasi kejiwaan (state of mind) mereka dalam menyikapi berbagai kasus hukum sering disertai reservasi-reservasi tertentu.
Begitu pula tak jarang mereka meletakkan atau mengaitkan proses penegakan hukum dalam konteks peristiwa tertentu. Penanganan kasus YPPI yang melibatkan sejumlah pimpinan BI, yang berdekatan waktunya dengan pengajuan Gubernur BI, memberi amunisi kepada sebagian masyarakat untuk melihatnya sebagai alat untuk ikut memengaruhi proses pengajuan tersebut.
Banyak orang menilai Burhanuddin Abdullah berpeluang kuat untuk diajukan sebagai calon Gubernur BI periode 2008-2013. Ini bukan karena ia baru satu periode menduduki kursi Gubernur BI, tetapi lantaran dirinya dianggap berhasil menjalankan tugas utama bank sentral: menstabilkan nilai rupiah.
Sebagian besar karena kerja keras dirinya dan seluruh aparat BI, tampilan makro ekonomi Indonesia pun menjadi cukup baik sepanjang tiga tahun terakhir ini. Ditetapkannya Burhanuddin Abdullah oleh KPK sebagai salah seorang tersangka dalam kasus YPPI telah mengempaskan kesempatannya untuk dicalonkan kembali sebagai Gubernur BI.
Bergulirnya proses penanganan kasus YPPI yang sedemikian itulah yang dapat digunakan sebagai penjelasan mengapa sebagian masyarakat melihat kasus hukum ini sebagai sesuatu yang juga bernada politis.Penanganan yang tidak "tepat waktu" tidak hanya merugikan Burhanuddin Abdullah sebagai pribadi dan Gubernur BI, tetapi juga merugikan bank sentral sebagai sebuah lembaga.
Hal ini terlihat dari putusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak mengajukan calon gubernur dari BI. Dalam situasi normal, tidak diajukannya orang dari BI adalah peristiwa biasa.Namun, dengan adanya kasus YPPI, hal itu bisa menimbulkan anggapan bahwa seluruh jajaran pimpinan BI merupakan pihak yang tidak kredibel untuk memimpin institusi tempat mereka berkarier selama ini.
Bukan mustahil jika citra seperti ini dipelihara, bisa jadi karier kebanksentralan mereka mandek.Perasaan seperti ini potensial menghambat kegairahan mereka dalam bekerja. Kita tidak berharap imajinasi-imajinasi politik ini berkembang secara tidak terkendali.
Peringatan ini perlu dikemukakan karena pemilihan Gubernur BI kali ini juga berdekatan dengan pesta politik yang akan digelar pada 2009. Pada tahun itu, pergantian kepemimpinan nasional akan berlangsung. Karena hak prerogatif pengajuan calon gubernur ada pada Presiden, bisa saja ada yang tergoda mengaitkan pengajuan calon dengan peristiwa politik akbar yang sudah pasti memerlukan biaya besar itu.
Selalu saja tersedia pihak yang akan menilai bahwa preferensi Presiden atas calon tertentu bukan karena didorong oleh motivasi kenegarawanannya, tetapi karena harapan-harapan yang bersifat pribadi. Memang, undang-undang telah mengamanatkan bahwa BI adalah lembaga independen, bebas dari campur tangan pemerintah. Akan tetapi, masyarakat juga paham bahwa kita adalah bangsa yang sering tak bebas dari rasa ewuh pekewuh, utang budi, dan sebagainya.
Hak Presiden untuk mengajukan calon, ditambah dengan praktik tata laksana pemerintahan yang baik yang belum melembaga, dapat membuat perasaan-perasaan tersebut berkembang secara tak terukur. Inilah jeratan dan hambatan kultural ? bahkan mungkin kema-nusiaan? utama bagi kita untuk berlaku jernih dan nuchter agar bisa mem-bedakan wilayah publik dan privat; untuk mampu berlaku secara bertanggung jawab atas amanat yang tengah digenggamnya.
Jika saja penanganan terhadap kasus YPPI bersifat "tepat waktu", imajinasi-imajinasi politik sebagian masyarakat seperti dipaparkan di atas barangkali tidak akan berkembang. Memang,kita juga sadar bahwa kasus tersebut dapat mendatangkan dampak- dampak yang bersifat nonhukum (antara lain moneter dan nilai tukar rupiah). (*)
Prof Dr Bahtiar Effendy
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta
No comments:
Post a Comment